Rabu, 19 Maret 2014

filsafat yang sebenarx...tidak seperti perkataan jasman jamaluddin



Sebuah kesadaran awalnya lahir dari "membaca", membaca yang kauniyah, yang tampak dan yang terjamah oleh panca indra, membaca teks dengan simbol-simbol bahasa tertulis atau membaca setumpuk persepsi dan sudut pandang serta asumsi-asumsi yang menghadirkan banyak diskursus pemikiran, dilanjutkan dengan agenda kerja kritisisme untuk menyeleksi setiap ide hingga melahirkan sebuah produk pemikiran dalam bentuk yang baru atau sekedar memperbaharui ide yang telah ada, kemudian mencipta kesadaran ber-ide. Kesadaran yang lahir adalah sebentuk manifestasi nalar yang telah mendayahgunakan fungsi epistemologinya, sehingga aktifitas membaca menjadi produktif dan tidak hanya larut dalam dialektika bahasa tetapi bagaimana berdialektika dengan ide dan realitas.

Kadang sebuah kontemplasi akan melahirkan spekulasi-spekulasi terhadap berbagai hal, menghadirkan diri dalam sebuah prasangka, atau membawa diri menuju dugaan-dugaan yang polos, tak jarang kita menjadi pesimistik, semua itu ngawur dan tidak ilmiah, lalu kita mulai menzholimi diri dengan menganggap adalah hal yang lancang ketika berani berfikir tanpa pengetahuan yang super. Padahal secara sadar atau tidak sadar pada saat itu kita telah membebaskan nalar kita untuk menjelajahi cakrawala imajinasi yang luas tanpa harus diperhadapkan pada batasan-batasan atau defenisi-definisi logis-ilmiah dan kawan-kawannya. Dan tanpa sadar pula pada saat itu sebenarnya kita sedang berfilsafat.

Manusia : Mahluk yang Berfilsafat

Banyak orang yang mengklaim bahwa berfilsafat adalah sebuah aktifitas eksklusif  milik para pemikir kelas tertentu, berfilsafat adalah aktifitas dari kerja otak yang sangat melelahkan dan menyita waktu. sehingga jurusan filsafat di hampir seluruh universitas swasta ataupun negri di Indonesia adalah jurusan yang paling sepi  peserta didik. Bahkan banyak mahasiswa yang sebisa mungkin akan menghindari mata kuliah filsafat  karena dihantui momok stereotipe terhadap filsafat. Secara sederhana berfikir berarti berfilsafat, meskipun dalam perkembangannya berfilsafat lebih dimaknai sebagai sebuah proses berfikir yang rasional, kritis, radikal dan sistematis. namun menyederhanakan pengertian filsafat adalah sesuatu hal yang perlu untuk menghindari esklusifitasnya. Jadi semua orang sebenarnya selalu berfilsafat dalam kualitas yang berbeda-beda, sehingga mengatakan bahwa semua manusia adalah filsuf bukanlah argumentasi bohong, kecuali bagi mereka yang tidak mau mendayahgunakan dan memaksimalkan potensi akal yang jauh lebih unggul dari kecanggihan teknologi manapun di abad millenium ini. Hanya saja mereka yang meiliki pemikiran atau ide yang luar biasalah yang berhasil mencatatkan namanya dalam deretan pemikir-pemikir (Filsuf) yang sampai hari ini karya-karyanya masih menjadi bahan bacaan dan pembelajaran sebagai referensi pengetahuan di berbagai belahan jagat.

Socrates pernah menghadirkan sebuah konsep atau lebih tepatnya proyek pengetahuan tentang logos dan mitos, logos dimaknai sebagai pengetahuan-pengetahuan yang rasional dan dapat dibuktikan secara ilmiah, sedangkan mitos hanya berupa kepercayaan-kepercayaan yang distigmatisasi tidak rasional dan tidak dapat dibuktikan melalui pendekatan ilmiah. Sebagai bapak filsafat Socrates tentunya memahami betul konstalasi dunia pemikiran pada saat itu, sehingga dia bisa saja mencipta konsepsi-konsepsi sesuai dengan kecenderungan nalarnya. Melihat konteks Indonesia dengan lokalitas-lokalitas kultural yang plural, menggunakan konsepsi tersebut akan menggusur kekayaan nalar lokal yang merupakan identitas diri masing-masing empunya, Mengingat betapa banyak produk lokalitas kita yang divonis sebagai mitos, tidak masuk akal dan tidak logis oleh para pemikir oksidental. Bukan karena memang benar-benar tidak masuk akal atau tidak rasional tetapi justru  nalar berfikir merekalah yang tidak mampu menjangkaunya, dan seringkali kita merestui hal tersebut dan tidak lagi pernah mau mengenal, mengetahui dan memahami akar kultur oriental yang menjadi pondasi ke-dirian kita secara lebih mendalam. 

Saatnya mendekonstruksi dominasi opini bahwa hanya seorang dengan kemampuan  berfikir rasionallah yang memiliki otoritas untuk menentukan ilmiah dan non-ilmiah, logis dan tidak logisnya suatu idea atau pengetahuan, bahkan pemaksaan opini bahwa merekalah  yang berhak memonopoli kebenaran. Manusia adalah mahluk yang merdeka berfikir tanpa harus terikat asas legal-formal serta kualifikasi-kualifikasi tertentu, karena yang terpenting adalah bagaimana berfikir secara sadar diatas realitas dan ide dengan tidak megabaikan naluri kemanusiaan dan nurani sebagi mahluk yang ber-hati. Ilmu dan pengetahuan bukanlah sesuatu yang netral, di sana .akan selalu terkandung nilai-nilai yang menjadi acuan dan memiliki tujuan, maka mengetahui bagaimana dan untuk apa suatu ilmu atau pengetahuan itu lahir adalah hal yang wajib bagi mereka yang tidak ingin terjebak dalam kekakuan dan kebekuan berfikir. Dalam sejarahnya filsafat memang seringkali melahirkan gejolak, dari gejolak pemikiran hingga gejolak sosial yang menjatuhkan banyak korban para pemikir itu sendiri. Pernah dalam fakta sejarah sebuah otoritas agama dengan piciknya menghukumi seorang filsuf hanya karena perbedaan interpretasi kosmologi. akibat kecurigaan bahwa keberadaan filsafat akan mereposisi peran agama yang bersifat dokmatis-theologis, padahal sejatinya filsafat justru ingin menguatkan posisi agama yang kala itu mengalami degradasi yang sangat dalam akibat kejumudan dan kepicikan berfikir akibat kalap teks. Saya yakin semua agama memberikan kebebasan kepada umatnya untuk mendayahgunakan potensi akal pikiran dan nalar untuk meciptakan kemaslahatan-kemaslahatan bagi semesta kehidupan.

Bukanlah sebuah ketabuan ketika setiap manusia melakukan dekonstruksi-aktif terhadap setiap diskursus pemikiran yang paradigmatik, karena subyektifitas nalar adalah keniscayaan yang akan senantiasa hadir menyertai lahirnya ide dari seorang pemikir. "Cogito ergo sum" adalah produk subyektifitas nalar Descartes, yang mendeterminasi berfikir sebagai sumber eksistensi atau menjadi sebab sebuah eksistensi. Secara pragmatis hal itu sepenuhnya tidak salah, namun perlu ditinjau kembali dengan pendekatan yang lebih proporsional, yakni tidak semata-mata menjadikan akal dengan segala potensinya menjadi sumber atau pondasi eksistensi dengan mengesampingkan potensi lain yang telah Tuhan anugerahkan kepada manusia. Karena manusia bukan sekedar "Hewan yang berfikir" tapi juga dia yang memiliki hati dan nurani suci yang jauh dari sifat kebinatangan. Sejatinya fisafat yang menggunakan akal sebagai instrument utama tidak akan pernah bertentangan dengan hal yang bersifat kasuistik. karena filsafat bertujuan untuk mencari sebuah kebenaran yang lahir dari kesadaran kritis dan tidak semata-mata dogmatis. Ketika sebagian orang mengatakan bahwa berfilsafat akan menjauhkan diri dari Tuhan yang Maha abstrak, justru sebaliknya, filsafat akan membawa kita kepada keber-Tuhan-an yang bukan semata-mata karena faktor biologis dan warisan dokmatis, namun keber-Tuhan-an yang hakiki, dengan tetap berpedoman pada tuntunan wahyu Illahiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar