Pernahkah anda bercermin? Melihat tampilan fisik dari diri anda, atau mencari tahu cacat dan kekurangan fisik yang anda miliki? Bagi manusia modern cermin adalah kebutuhan primer yang harus tersedia di ruang-ruang khusus, agar mereka selalu tampak elegan. Ketika kita menghadapkan diri kita ke arah cermin, kita akan menemukan sosok yang sangat mirip dengan diri kita, dari ujung kaki hingga ujung rambut, kita akan berkata itulah diri saya, setelah itu kita mulai mempersepsikan bahkan meyakini bentuk dan tampilan fisik dari diri kita. Lalu bagaimana kita bisa begitu yakin bahwa sosok itu adalah bayangan dari diri kita? Seberapa yakinkah kita bahwa cermin tak akan pernah berbohong? Yah, pertanyaan itu mungkin tak akan pernah menemukan jawaban yang memuaskan, bagi mereka yang telah menganggap berfikir dan bertanya sebagai candu.
Di depan cermin anda adalah satu-satunya yang memiliki otoritas untuk menilai baik-buruknya diri anda, namun ketika anda keluar dan bertemu dengan banyak orang, mulailah jawaban-jawaban berbeda tentang diri anda muncul satu per satu. Ketika itu anda harus memilih antara mempercayai semuanya, salah satunya, atau justru tak percaya pada semuanya. Mungkin kita harus berterima kasih kepada cermin, karena ia selalu menampakkan diri kita apa adanya. Lalu mengapa cermin tak kuasa mengomentari kita tentang ini dan itu? jawabannya karena cermin adalah benda mati kita semua pasti tahu itu. Jadi mengapa manusia-manusia memiliki cara pandang yang berbeda-beda? Apa karena mereka memiliki kualitas pengindraan yang berbeda? Atau, karena mereka mereka memiliki cara berfikir yang berbeda? Kedua-duanya mungkin benar. Jadi manusia yang tak pernah berfikir tentang sesuatu atau mempersepsikan sesuatu tak lebih mulia dari sebuah cermin yang bisu, dan mereka yang selalu berkata sesuatu yang tidak benar akan lebih hina dihadapan cermin. Maka jadilah orang yang sering berfikir agar tidak menjadi korban dari kebohongan-kebohongan yang kerap kali diumbar oleh orang-orang yang licik.
Ada yang mengatakan bahwa perbedaan manusia dengan mahluk hidup lain (binatang, tumbuhan) terletak pada akalnya, perhatikan ketika terjadi kebakaran di suatu tempat, tumbuhan tak kuasa untuk menghindar apalagi lari, karena fitrahnya hanya hidup, bergerak pada posisinya, tumbuh dan berkembang sedangkan binatang akan berlari menghindari api karena dianugrahi insting untuk mengetahui bahaya, namun ia tak akan pernah kembali untuk mencoba memadamkan api, karena insting yang ia miliki adalah insting yang stagnan dan tidak berkembang, sehingga mereka mustahil belajar dari fenomena-fenomena yang ada. Dari kasus tersebut saya berani menyimpulkan bahwa manusia yang tak mencoba menghindari bahaya tak ubahnya seperti tanaman yang tak punya daya untuk menggerakkan dirinya walau sejengkal dan manusia yang ketika mendapatkan masalah kemudian lari dari masalah itu dan tak pernah kembali untuk menyelesaikannya tak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih hina darinya. Hanya orang-orang yang rajin berfikir yang akan selalu menemukan solusi dari setiap permasalahan hidup.
Manusia adalah hewan yang berfikir, kata Al-ghazali suatu waktu. Siapa yang tak kenal tokoh yang berhasil mendialogkan antara filsafat dan tasawwuf ini, meskipun beberapa karyanya terlihat begitu menghakimi filsafat sebagai dalang kesesatan berfikir, dan menjadikan tasawwuf sebagai ilmu kebenaran hakiki. Dalam perdebatan panjangnya dengan para filsuf yang terekam dalam tahafut al-falasifah (kerancuan filsafat) yang kemudian dijawab oleh Ibnu Rusyd dalamtahafut at-tahafut (kerancuan yang rancu) dapat ditangkap bahwa sebenarnya Al-ghazali bukan menolak filsafat, tetapi menolak gaya berfikir sebagian para filsuf yang menggunakan filsafat untuk mendangkalkan keyakinan agama.
Kerangka Berfikir Ala Sekolah
Setiap kali diundang menjadi pembicara dalam forum diskusi tentang Kerangka Berfikir, saya selalu menyampaikan analisis saya tentang perkembangan kerangla berfikir manusia-manusia sekolahan dari waktu ke waktu. Siswa sekolah dasar misalnya memiliki corak berfikir yang putih, sehingga mereka terkadang hanya bisa menerima apa yang diajarkan sebagai sebuah kebenaran yang tak perlu di ganggu-gugat. Beranjak menuju sekolah menengah pertama, umumnya corak berfikir abu-abu adalah yang paling dominan, dimana seringkali mereka melakukan imitasi-imitasi terhadapa berbagai “trend” zaman tanpa kalkulasi baik-buruk. Di era ini para orang tua akan mulai dihantui kecemasan akan kenakalan-kenakalan menjelang masa pubertas anak. Sekolah menengah atas adalah masa transisi pola fikir yang cukup rawan, dimana seringkali puncak kenakalan remaja akan menemui titik kulminasinya, beberapa peristiwa tawuran antar pelajar SMA dan kasus video asusila pelajar seragam abu-abu adalah salah satu yang menyedihkan, walaupun pada tingkat ini mereka telah berada fase aqil balik, dimana nilai baik-buruk telah mendapat perhatian lebih bahkan serius. Juga pada tingkat ini indoktrinasi yang mereka terima akan mulai mengantarkan mereka menuju masa transisi dari fase labil menuju fase stabil baik secara spiritual, emosional maupun intelektual yang akan berlanjut pada fase selanjutnya yaitu fase menjadi mahasiswa.
Saya pernah mendengar seorang Ulama berkata bahwa pada masa transisi dari sekolah menengah menuju kampus banyak remaja yang memiliki ruang kosong dalam dirinya (mungkin ruang kesadaran spiritual) yang ketika salah sebuah doktrin mengisi ruang itu, remaja tersebut akan akan mengalami gejolak yang akan membawa perubahan yang mendasar pada dirinya. Sehingga akan banyak label doktrin dan ideologi yang siap menjemput para mahasiswa baru, proses indoktrinasi dan ideologisasi akan terus berlanjut hingga tahap dimana seorang mahasiswa telah menemukan titik balik kedewasaan berfikir, sehingga ia tak lagi sekedar membebe dan membeo pada produk pemikiran yang ada, tetapi telah mampu untuk juga berfikir kritis.
Idealnya cara berfikir mahasiswa bukan lagi cara berfikir yang abu-abu ataupun hitam-putih, melainkan cara berfikir yang colourful (kritis) yang tidak melulu menganggap pengetahuan hanya tentang baik-buruk dan salah-benar, pengetahuan bisa mengandung sebuah nilai yang harus diperjuangkan, juga terkadang mengandung sebuah strategi untuk bertahan dan melawan arus yang tak lagi berpihak. Sehingga para mahasiswa harus turut dalam kontestasi perkembangan pemikiran yang lebih rumit dan kompleks, sehingga kekuatan referensial dengan modal bacaan yang melimpah akan membantu mahasiswa untuk menentukan keberpihakan dan sikap yang harus diambilnya. Mungkin tak semua orang mengalami fase-fase tersebut, khususnya mereka yang lari dari sekolah, karena beranggapan bahwa semua orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah.
Berfikirlah, karena subtansi dari manusia adalah akal dan akal tak berarti apa-apa tanpa berfikir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar