Rabu, 19 Maret 2014

Bertanya merupakan wujud konsistensi seorang manusia



Ingatkah ketika anda masih kanak-kanak? Sekitar usia tiga sampai dua belas tahun, ketika anda mulai belajar mengeja kata, atau telah mahir memanggil sapaan “mama” dan “papa”, mungkin banyak diantara kita yang telah lupa. Saat itu sebenarnya kita menjelma menjadi seorang “filsuf cilik” yang mulai belajar tentang nama benda-benda di sekitar kita, mulai beradaptasi dengan bunyi-bunyi (red-bahasa) yang menghiasi keseharian kita, sebuah fase awal mengenal kehidupan walau belum sampai pada tahap memahami. Sewaktu berada pada masa kanak-kanak mungkin kita belum menjadi seorang yang mampu berfikir secara sempurna, sehingga apa yang sering kita lakuakan adalah bertanya tentang berbagai hal yang ada dan yang terjadi di sekeliling kita. Gaya bertanya yang senantiasa diiringi kepolosan hingga kelucuan yang memancing gelak-tawa.

Bertanya Filosofis

Bertanya, sebuah kata yang terkadang mengandung makna yang sangat tendensius, mungkin bagi salah satu kebudayaan yang ada di dunia ini, bertanya merupakan sebuah hal yang terlarang, apalagi tentang sesuatu yang dianggap sakral. Sehingga yang ada adalah budaya menerima segala sesuatu sesuai dengan wujud empiriknya atau sesuai dengan dogma yang ada dalam masyarakat. 

Dalam sejarahnya filsafat selalu berangkat dari pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai hal yang menyangkut dunia dan kehidupan (alam, manusia hingga Tuhan), ketika Thales mempertanyakan tentang urstof (unsur dasar) alam semesta, dalam proses pencahariannya ia mengamati berbagai gejala kehidupan di sekitarnya. Manusia, hewan dan tumbuhan tak dapat hidup tanpa air, hujan yang mengobati kekeringan, kesedihan yang menyebabkan keluarnya air mata saat seseorang menangis, hingga janin yang berasal dari air mani membuat Thales berfikir bahwa unsur dasar alam semesta adalah air. Hipotesa Thales tersebut mendapat bantahan dari filsuf-filsuf setelahnya, seperti Anaximenes yang mengatakan bahwa urstof alam semesta adalah udara dan Heraclitos yang mengatakan bahwa apilah yang menjadi unsur dasar dari alam semesta. Kontradiksi-kontradiksi para filsuf tersebut tentunya berawal dari pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan metode berfikir yang berbeda, sehingga membuat mereka berkesimpulan berbeda-beda. 

Dari beberapa buku filsafat yang pernah saya baca Thales selalu berada diurutan pertama deretan para filsuf, dia hidup sekitar tahun 600 SM, sampai saat ini saya belum percaya pada hal itu, karena saya berfikir bahwa mana mungkin orang-orang mesir kuno sekitar tahun 3000 SM dapat membangun sebuah maha karya berupa Piramida raksasa tanpa kecerdasan dan cara berfikir filosofis? Atau sekitar 4000 tahun yang lalu (tahun 2000 SM) ketika masyarakat lembah sungai indus India berhasil membangun sebuah peradaban kota dengan kecanggihan arsitektur yang luar biasa, kota Harappa dan Mohenjo-Daro yang sangat teratur dan tertata rapi merupakan bukti kecemerlangan filsafat masyarakat sungai Indus kuno. Bahkan ketika menengok Kitab Lagaligo, sebuah karya tulis kuno terbesar dan terpanjang di dunia yang lahir dari rahim masyarakat Bugis, saya lalu bertanya, peradaban apa yang dapat melahirkan sebuah kitab kehidupan sekaliber Lagaligo? Tak mungkin peradaban kecil atau biasa-biasa saja kan? Kemudian saya berani menduga bahwa masyarakat Bugis telah berfilsafat jauh sebelum Thales berfilsafat dan mulai mempertanyakan alam semesta ini.

Dekat dan Tak Dimengerti

Bagi saya berfikir dan bertanya merupakan dua hal yang berjalan beriringan, ketika mulai memikirkan tentang sesuatu, pada saat itu pula sebenarnya kita sedang mempertanyakan sesuatu itu. Ketika Descartes seorang bapak rasionalisme mengatakan “aku berfikir, maka aku ada”, saya akan menambahkan dengan berkata “aku bertanya, maka aku ada”, karena bertanya bagiku merupakan sebab sebuah eksistensi, terkadang saya bertanya-tanya tentang mereka yang terlalu sering diam, padahal ada banyak persoalan yang perlu kita bincangkan, atau mungkin terlalu memegang teguh konsep tawadhu’ yang meniscayakan seseorang selalu merasa rendah hati, sering kurang tahu, atau bahkan tidak tahu apa-apa. Yah, bagiku di saat kondisi kehidupan saat ini dimana persoalan dan masalah memenuhi hampir semua sektor-sektor inti kehidupan, tawadhu’ model itu tidak lagi kontekstual, kita harus lebih sering memacu diri untuk bertanya, berfikir dan berdiskusi dengan orang lain.

Sekarang saya sedang sibuk menyusuri kata per kata hingga lembar demi lembar sebuah karya filsafat berbentuk Novel yang dikarang oleh Fauz Noor, sebenarnya buku yang berjudul Tapak Sabda itu secara subtansi tidaklah asing, buku yang hampir sama berjudul Dunia Sophie yang ditulis oleh Jostein Gaarder telah lebih dulu aku baca, aku belum berani menyimpulkan bahwa kedua buku tersebut memiliki konsep dan alur yang mirip. Karena aku belum menamatkan siTapak Sabda. Seringkali kita dibuat bingung oleh hal-hal yang dekat bahkan sangat intim dengan diri dan kehidupan kita, ketika kita mulai bertanya tentang hal-hal itu kita terkadang di buat pusing tujuh keliling.  Itu adalah salah satu poin penting dari sebuah bagian pembahasan dalam buku itu, seperti kutipan pertanyaan “Dimanakah letak kenikmatan tidur?” Setelah membaca itu aku dibuat pusing setengah stres untuk mencari jawabannya. Atau pertanyaan lain seperti “Mengapa saat kita bersedih, kita meneteskan air mata? Semakin kita menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, maka semakin banyak pula pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan, ibarat jalan panjang yang berliku tanpa ujung.

Salah sebuah hadist menyebutkan bahwa Tuhan lebih dekat dari urat nadi kita, seberapa dekatkah itu? Belum ada jawaban atau memang tak ada jawaban (manusia) atas pertanyaan itu. Hal itu seolah mengajarkan bahwa semakin dekat sesuatu itu dengan diri kita maka ia akan semakin rumit dan tak terjelaskan (undiscourse), atau dalam bahasa Tapak Sabda “dimengerti ketidakmengertiannya”. Dalam sebuah hadist qudsi yang berbunyi “man ‘arafa nafsahu faqad’ ‘arafa rabbahu” barang siapa mengenal dirinya, dia telah mengenal Tuhannya, Tuhan seolah ingin mengabarkan bahwa manusia adalah manifestasi keberadaan-Nya, sehingga tak aneh ketika Al-hallaj seorang ahli tasawwuf berkata “Ana rabbun”, sebagai wujud pengenalan hamba kepada Tuhannya.

Itulah filsafat, ia senantiasa mendorong kita untuk bertanya dan berfikir secara mendalam (radikal). Aku teringat sebuah ayat dalam Al-quran yang difirmankan oleh Allah ketika ruh hendak ditiupkan ke dalam jasad janin yang dikandung “alastu birabbikum” bukankah Aku Tuhanmu, kata Allah. “qalu bala syahidna” betul, Engkaulah Tuhan kami, kata mereka. Ayat itu mengisyaratkan bahwa kehidupan manusia dimulai dari sebuah pertanyaan. Filsafat tak sama sekali bertentangan dengan agama ketika ia berada pada jalur dan koridor yang benar. walaupun filsafat berangkat dari keraguan (syak) dan agama berangkat dari keyakinan (iman). Menurut AG. Dr. H Sanusi Baco Lc, perbedaan iman dan pengetahuan (filsafat) adalah, Iman menuntut kita menerimanya terlebih dahulu kemudian mempertanyakannya, sedangkan pengetahuan (filsafat) menuntut kita mempertanyakannya terlebih dahulu kemudian menerimanya, antara iman dan pengetahuan tak ada pertentangan karena dalam kehidupan manusia keduanya memiliki proporsi masing-masing.

Filsafat tak akan pernah mereposisi peran dan kedudukan agama, justru ia akan semakin meneguhkannya, karena sejatinya manusia adalah mahluk yang penuh dengan kelemahan dan keterbatasan, hanya Allah lah yang Maha kuasa dan Maha tahu. Sehingga sebebas apapun fikiran terbang menembus cakrawala ilmu dan pengetahuan, itu semata-semata untuk menuju ketundukan kepada Sang khalik, ketaatan pada firman dalam ayat-ayatnya (Al-quran) dan risalah Nabi-Nya (sunnah Rasulullah)

 Maka bertanyalah, karena Aku bertanya maka Aku ada !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar