Selasa, 22 April 2014

sunni dan syiah

1. Mitos: Mayoritas Muslim bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. 
 
Fakta: Mayoritas Muslim tidak menyadari dan tidak memiliki identitas kemazhaban seperti ini. Mayoritas mutlak dari 1,7 milyar Muslim hanya menyadari dirinya sebagai Muslim dan terikat dengan Islam tanpa embel-embel mazhab tertentu. Identitas itu dapat dirumuskan dalam dua kalimat syahadat: La Ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Inilah identitas yang mempersatukan mereka. Di luar dua kalimat syahadat itu, semua dapat berselisih, berbeda-beda penafsiran, tergantung latar belakang pemahaman, pendidikan, lingkungan dan lain sebagainya. 
 
Labelisasi kemazhaban seperti Sunni atau Syiah dan label-label sektarian lain sebenarnya diberikan oleh penguasa yang berkedok agama untuk memecah-belah tubuh umat dan meraih keuntungan-keuntungan politik sesaat.  Namun, dalam kenyataannya, label-label itu tidak dipahami dan tidak diakui oleh individu-individu umat Muslim sendiri sebagai penanda keislamaan seseorang. 
Lebih dari itu, kategori mayoritas dan minoritas itu sendiri bersumber dari kepentingan politik dan tidak bersumber dari konsep Islam, kalau tidak mau dikatakan sebagai konsep yang tidak diakui dalam teks-teks Al-Qur\'an dan Sunnah. 

Bahkan, Al-Qur\'an berulang  kali menegaskan bahwa mayoritas penduduk bumi ini tersesat, tidak bersyukur, lalai dan sebagainya. Dalam al-Qur\'an, istilah mayoritas itu justru sering digunakan dalam konotasi yang negatif. Sebaliknya, beberapa ayat Al-Qur\'an memuji minoritas (kaum beriman) yang bersabar di jalan Allah, bersyukur dan akhirnya dapat mengalahkan mayoritas (yang tidak beriman) dengan izin Allah. Alasannya sederhana. Para nabi dan pengikut setia mereka selalu bermula sebagai minoritas yang ingin mengubah mayoritas yang bodoh dan kufur.   Walhasil, istilah mayoritas-minoritas itu sama sekali asing dari sumber-sumber otentik ajaran Ilahi ini. Siapa saja yang suka menggunakannya, maka biasanya dia mempunyai motif politik. Tidak lebih dan tidak kurang. 
 
2. Mitos: Syiah adalah minoritas dan Sunni adalah mayoritas Muslim di dunia dewasa ini. 
 
Fakta: Kalau yang dimaksud Syiah kita batasi dalam definisi ajaran yang mengikuti dan mencintai Ahlul Bait Nabi, maka jelas kelompok ini menjadi mayoritas, itupun kalau kita terpaksa meladeni penggunaan dikotomi mayoritas-minoritas ini. Karena, secara objektif, sebagian terbesar umat Islam mencintai dan mengikuti Ahlul Bait Nabi dan menjunjung tinggi posisi mereka dalam soal-soal religius dan spiritual. 

Demikian pula sebaliknya, kalau yang dimaksud dengan Sunni itu adalah kelompok yang meremehkan dan merendahkan kedudukan Ahlul Bait Nabi dengan berbagai alasan dan justifikasi sebagaimana yang dipercayai oleh kelompok Wahabi-Takfiri, maka jelas mereka merupakan minoritas ekstremis di kalangan umat Muslim. 

Demikian pula, jika yang dimaksud dengan Syiah adalah sebagaimana yang dituduhkan oleh kelompok Salafi-Wahabi sebagai ajaran yang mengutuk dan mengkafirkan sahabat-sahabat Nabi, maka jelas Syiah dalam pengertian ini hanya dianut oleh segelintir ekstremis yang tersesat dari jalan Islam Ahlul Bait yang menjunjung tinggi prinsip rahmatan lil \'alamin. 

Dengan demikian, sebagaimana yang diucapkan oleh Mufti Besar Suriah, Syaikh Badruddin Hassun, mayoritas Muslim itu Syiah dalam kecintaannya terhadap Ahlul Bait dan Sunni dalam kepatuhannya mengikuti metode para sahabat. Memakai pola pikir ini, maka hilanglah alasan di balik dikotomi yang sebenarnya memang lebih merupakan tipuan untuk memecah belah umat dari dalam. 
 
3. Mitos: Rezim-rezim Arab seperti Arab Saudi, Bahrain dan Qatar bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. 
 
Fakta: Seluruh pemimpin rezim-rezim petrodolar ini beraliran sekuler dan anti agama. Mereka sama sekali tidak terikat dengan syariah Islam dari mazhab mana pun juga. Buktinya, mereka menjalin hubungan yang terang-terangan dan terbuka dengan Amerika Serikat dan secara sembunyi-sembunyi dengan anak kesayangan AS, Israel, yang membantai ratusan ribu Muslim di Palestina, Afghanistan, Yaman, Somalia, Sudan, Mali, dan sebagainya. Mitos keberpihakan rezim-rezim Arab Teluk terhadap perjuangan Ahlus Sunnah itu ditebar semata-mata guna menipu rakyat di negara-negara mereka yang hidup dalam kemiskinan dan tanpa sedikit pun harga diri dan kemerdekaan. Selebihnya hanya bualan kosong tanpa makna. 

4. Mitos: Arab Saudi adalah kerajaan yang menjunjung tinggi Islam. 
 
Fakta: Dalam masa kekuasaan rezim Kerajaan Arab Saudi di Jazirah Arab selama 100 tahun terakhir,  dua kota utama umat Muslim, Mekkah dan Madinah, telah mengalami perusakan yang massif. Laporan sejumlah media telah memverifikasi dugaan ini dengan bukti-bukti visual yang tak terbantahkan. Jika trend ini dibiarkan, dalam sepuluh tahun mendatang, sejarah Islam tidak akan lagi didukung oleh jejak-jejak historis dan arkeologis yang penting. Mekkah dan Madinah akan berganti wajah menjadi dua kota kosmopilitan yang kehilangan sakralitas dan historisitas. 

Dekonstruksi atas situs-situs historis umat Islam yang dilakukan oleh rezim Arab Saudi ini mirip dengan kelakuan rezim zionis Israel terhadap situs-situs historis keagamaan milik Kristen dan Muslim di tanah suci Palestina. Motif kedua rezim itupun sama: menghilangkan jejak-jejak sakralitas dan historisitas kota-kota suci tersebut demi merekonstruksi pemahamaan agama yang sepenuhnya palsu demi melegitimasi dominasi mereka selanjutnya. 
 
5. Mitos: Nahdhatul Ulama (NU) bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berakidah sesuai dengan ajaran-ajaran Abul Hasan Al-Asy\'ari. 
 
Fakta: Sebagian besar tradisi NU seperti ziarah kubur, tahlil, peringatan 4 -7-40 hari setelah wafat seseorang atau haul tahunan, penghormatan terhadap ulama, tawasul, tabaruk, dan sebagainya merupakan tradisi-tradisi khas mazhab Ahlul Bait yang tidak terdapat dalam referensi-referensi kitab klasik Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebaliknya, ritus-ritus dan tradisi-tradisi tersebut terdedah secara rinci dalam kitab-kitab klasik Syiah seperti Makarim Al-Akhlaq, Mafatih Al-Jinan karya Abbas Al-Qummi, Al-Iqbal karya Al-Kaf\'ami, Al-Balad Al-Amin karya Sayyid Ibn Thawus dan sebagainya. 
 
6. Mitos: Syiah adalah mazhab Islam yang terpengaruh dengan tradisi Persia dan Zoroastrianisme. 
 
Fakta: Iran baru memeluk mazhab Syiah pada abad 15 Masehi di zaman Safawi. Sebelumnya, Iran adalah pusat perkembangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dapat dilihat dari fakta sebagian besar kitab rujukan milik Ahlus Sunnah saat ini merupakan karya-karya ulama Sunni berdarah Persia, seperti Shahih Bukhori dan sebagainya. Bahkan, Syiah semula merupakan mazhab resmi Mesir di era Daulah Fathimiyyah yang berhasil membangun pusat kota Kairo dan Universitas Al-Azhar. 
 
7. Mitos: Mazhab Syiah yang dijadikan sebagai mazhab resmi Dinasti Safawi merupakan reaksi dendam atas penaklukan Muslim Arab atas Persia. 
 
Fakta: Dinasti Safawi sebenarnya bukan didirikan oleh elit berdarah Persia melainkan oleh sekelompok keluarga yang memiliki darah Turki Azeri. Oleh karena itu, pusat kerajaan Safawi dimulai dari Ardabil yang memiliki banyak percampuran etnik Turki-Azeri dan Kurdi. Sebaliknya, penganut Syiah paling awal adalah kelompok Arab Irak yang bertempat di Kufah, Irak dan sebagian lain berada di wilayah Bahrain (hingga kini mayoritas penduduknya bermazhab Syiah), Yaman (hingga kini mayoritas penduduk Yaman Utara bermazhab Syiah Zaidiyyah), Mesir (cikal-bakal dinasti Fathimiyah), dan sebagainya. Yang jelas, Syiah dianut oleh bangsa dan suku-suku Arab jauh sebelum bangsa Iran memeluknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar